Ganja sebagai Bumbu Masak dan Obat
Dalam lintasan sejarah panjang umat manusia, ganja bukanlah semata tanaman kontroversial yang diasosiasikan dengan rekreasional. Ganja pernah hadir dalam menu dapur, pengobatan tradisional, hingga farmasi modern. Di beberapa wilayah Asia Selatan seperti India dan Nepal, ganja dimanfaatkan sebagai bumbu dalam olahan makanan maupun minuman, misalnya bhang yang disajikan saat perayaan keagamaan Hindu. Bahkan di sebagian wilayah Nusantara, masyarakat tempo dulu mengenal ganja sebagai pelengkap bumbu masak untuk menambah cita rasa, aroma, dan sensasi hangat pada hidangan. Penggunaan kuliner ini mencerminkan bahwa ganja pada awalnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu, melainkan bagian dari kearifan lokal. Dalam khazanah pengobatan herbal, ganja telah lama dipakai sebagai ramuan untuk meredakan nyeri, mengatasi gangguan tidur, serta meningkatkan nafsu makan. Catatan sejarah medis Tiongkok kuno dan praktik Ayurveda India menyebutkan ganja sebagai tanaman serbaguna dengan spektrum manfaat yang luas. Walaupun cara pemakaiannya tidak selalu terstandar, pengalaman empiris masyarakat menunjukkan bahwa tanaman ini pernah dianggap sebagai “obat rakyat.” Di era modern kedokteran berbasis bukti, penelitian mendalam menghasilkan turunan ganja yang diformulasikan secara farmasi. Cannabidiol (CBD), salah satu kandungan non-psikoaktif ganja, telah mendapat persetujuan dari FDA (Food and Drug Administration, AS) untuk terapi epilepsi refrakter yang sulit diobati dengan obat konvensional. Selain itu, ekstrak tertentu dari ganja juga digunakan secara terbatas dalam mengatasi nyeri kronis, spasme pada multiple sclerosis, serta mual hebat pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Dengan regulasi yang ketat, ganja medis kini menempati ruang legal dan sah dalam praktik kedokteran modern di sejumlah negara maju.
Ganja Antara Tradisi, Ilmu, dan Regulasi
Sejarah penggunaan ganja menunjukkan bahwa tanaman ini tidak selalu dipandang sebagai ancaman, melainkan pernah menempati ruang yang sah dalam budaya kuliner, tradisi pengobatan, hingga farmasi modern. Namun, cara pandang terhadap ganja berbeda tajam antara negara maju dan Indonesia. Nilai tradisional, tradisi India, Nepal, dan Tiongkok kuno menempatkan ganja sebagai bagian dari ritual keagamaan, obat rakyat, maupun ramuan kuliner. Tradisi ini tidak hilang, melainkan diadaptasi dengan regulasi baru. Misalnya, bhang di India tetap legal dalam konteks budaya dan ritual. Indonesia, ganja juga sempat dikenal di sebagian wilayah Nusantara sebagai bumbu dapur, terutama di Aceh, sebelum masuknya regulasi modern. Namun seiring kolonialisme dan masuknya hukum narkotika internasional, tradisi itu hilang dan kini lebih sering dikaitkan dengan stigma kriminalitas ketimbang warisan kuliner atau pengobatan lokal. Negara maju, kajian ilmiah berkembang pesat. Cannabidiol (CBD) dan tetrahydrocannabinol (THC) dipelajari secara sistematis melalui riset klinis. Beberapa hasil sudah diakui regulator. CBD disahkan untuk epilepsi refrakter, THC sintetis dipakai dalam mual akibat kemoterapi.